Mengenal Soft-Skill
Banyak sekali trainer dan training provider menawarkan jasa pelatihan soft-skill. Bahkan menurut seorang pengelola situs pemasaran training di Indonesia, tahun 2014 lalu iklan pelatihan soft-skill paling banyak di submit.
Apa sebenarnya yang dimaksud soft-skill ?
George Paajanen, Ph.D, seorang professor di bidang sosiologi mengemukakan soft-skilladalah istilah yang berkaitan dengan keterampilan seseorang (mengelola) EQ, kepribadian, komunikasi, bahasa, kebiasaan diri, dan optimisme, yang menjadi ciri dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal).
Sedangkan Phillip Moss berpendapat soft-skilladalah keterampilan atau kemampuan yang berhubungan dengan personality, attitude, dan perilaku.
Dikatakan “soft-skill” karena menunjukan keterampilan yang sifatnya halus dan bahkan tak kasat mata (seperti terampil mengelola emosi atau menumbuhkan rasa percaya diri).
Apakah soft-skill dapat dipelajari dan dapat dilatih ?
Seperti keterampilan pada umumnya, tentu saja soft-skill dapat dipelajari dan dilatihkan. Hanya saja mengingat sifatnya, program – program pelatihan soft-skill akan berbeda dengan keterampilan teknis maupun keterampilan kasar.
Bagaimana cara mempelajari dan melatih soft-skill ?
Perlu dipahami sebelumnya bahwa soft-skill meliputi dimensi personal attribute(kepribadian, values, mindset, dsb) dan dimensi interpersonal (hubungan antar pribadi). Sehingga dalam melatih soft-skill tidak saja sebatas pada melatih teknik – teknik semata.
Sebut saja melatih keterampilan berkomunikasi. Jika yang dipelajari dan dilatih hanya teknik – teknik berkomunikasi dengan orang lain, maka ini tidak melatih soft-skill secara utuh. Selain teknik komunikasi yang jitu, peserta perlu mendapatkan cara agar dirinya percaya diri dalam berkomunikasi, atau cara untuk menghindari praduga – praduga yang negatif dan cenderung menghambat komunikasi.
Lho, bukankah semua keterampilan juga memerlukan teknik pengelolaan diri seperti itu?. Ya!, tepat sekali. Seorang operator mesin juga perlu percaya diri, tenaga back-office juga harus memiliki mindset yang memberdayakan atau biasa disebut mindset positif.
Bahkan bukan hanya pengelolaan diri, tetapi termasuk interpersonal skill nya. Bukankah operator mesin perlu bisa bekerjasama dengan rekannya jika menemukan masalah – masalah?. Pun dengan staf back-office.
Dalam hal ini hard-skill dan technical-skill juga memerlukan soft-skill. Sebagaimana diungkapkan George Paajanen bahwa soft-skill melengkapi hard-skill yang merupakan persyaratan melakukan pekerjaan atau aktivitas lainnya.
oleh: Muhammad Isman & Hartono Zhuang, MBA